Sebagian orang berharap masa depannya akan lebih cerah ketika memutuskan meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Tapi ternyata da faktor-faktor lain yang tak kalah penting.
Secara umum, lulusan perguruan tinggi biasanya memang mendapatkan upah yang lebih tinggi dari yang tidak bergelar sarjana.
“Jika terjadi mobilitas kelas di Amerika, itu terjadi berkat pendidikan,” ujar Sean C. Bird, dekan di Washburn University kepada The New York Times. Menurutnya, kampus juga merupakan ruang transformasional.
“Mahasiswa memiliki cara bicara yang berbeda, berpikir, berpakaian, dan berjalan yang berbeda daripada yang lain (nampak intelek),” ungkapnya. Inilah yang menyebabkan mereka memiliki nilai lebih.
Akan tetapi, tak semua orang dengan gelar sarjana akan beruntung di bursa lapangan kerja, sebab banyak yang kurang kompeten di lapangan kerja tanpa keahlian khusus.
E. Whitney Soule, dekan di Bowdoin College, menyatakan hal yang senada terkait lulusan perguruan tinggi. Ia mengamati, setiap mahasiswa memiliki harapan akan segera memperoleh pekerjaan setelah lulus. “Kau mengira akan segera memperoleh pekerjaan setelah lulus, tapi kau mungkin tidak memikirkan apa yang bisa dikerjakan,”
Tapi jangan senang dulu.
kita tidak menjadi jaminan mereka mudah memperoleh pekerjaan,”
Bursa lapangan kerja, menurutnya, mudah dimasuki bila seorang pelajar tak hanya pintar berteori namun juga memiliki kemampuan khusus yang bisa diandalkan di perusahaan, misalnya kemampuan mekanik, desain, dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang dikatakan ki hajar dewantara, "Pengajaran yang diberikan oleh pemerintah kolonial hanya untuk menjadi buruh, karena adanya ijazah itu tidak untuk mengisi pendidikan yang sesungguhnya dan tidak untuk mencari pengetahuan dan kemajuan".
Dengan demikian, mahasiswa hanya disuruh belajar untuk lulus jadi sarjana. Mereka hanya mengejar status bukan proses untuk menjadi sarjana. Akhirnya mereka jadi tak punya pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui. JobsDB, sebuah portal pencari kerja memaparkan lebih dari 66 ribu lulusan sarjana baru di Indonesia tidak terserap perusahaan dan berpotensi menjadi pengangguran, sementara jumlah lulusan sarjana baru setiap tahun mencapai sekitar 250 ribu.
Sulitnya lulusan universitas lokal memperoleh pekerjaan sudah terlihat dari angka pengangguran terdidik Indonesia yang meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi.
Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu (S-1). Dari jumlah itu, penganggur paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 yang mencapai 495.143 orang.
Angka pengangguran terdidik pada 2014 itu meningkat dibandingkan penganggur lulusan perguruan tinggi pada 2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar 8,79 persen (645.866 orang).
Berdasarkan hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak tahun 2014 mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai.
Masih menurut hasil studi itu, semestinya perusahaan tidak sulit mencari tenaga kerja, sebab angka pertumbuhan lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun selalu bertambah. Sementara itu, angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja selalu lebih rendah dari pada jumlah lulusannya.
"Setelah India dan Brasil, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan lulusan universitas lebih dari 4 persen dan rata-rata surplus 1.5 persen per tahun. Tapi, perusahaan tetap kesulitan mendapatkan karyawan yang berpotensi tinggi," kata Consultant Director, Willis Tower Watson Indonesia, Lilis Halim.
Ia menambahkan susah terserapnya lulusan perguruan tinggi Indonesia karena tidak memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan dan tidak punya critical skills. Kampus seperti tidak memberikan peningkatan pada kemampuan sumber daya manusianya.
Maka solusi apa yang tepat Untuk model pendidikan yang seperti itu?
Kiranya, pendidikan harus merupakan milik bersama yang direpresentasikan dalam kesamaan kesempatan mengakses pendidikan,hingga wawasan yang berorientasi untuk keadilan seorang dalam memperoleh pendidikan ,begitu pula menciptakan skill yang berdominasi untuk bersama.
"Skill adalah langkah utama memasuki dunia kerja, setelah itu harus punya critical skills jika ingin berkembang dan masuk jajaran manajemen perusahaan,sekaligus managemen permberdayaan" kata Lilis.
Berdasarkan studi itu, Lilis mengatakan, di era digital saat ini lulusan perguruan tinggi juga harus punya digital skills, yaitu tahu dan menguasai dunia digital. Agile thinking ability (mampu berpikir banyak skenario) serta interpersonal and communication skills -(keahlian berkomunikasi sehingga berani adu pendapat).
Terakhir, menurut dia, para lulusan juga harus punya global skills. Skil tersebut meliputi kemampuan bahasa asing, bisa padu dan menyatu dengan orang asing yang berbeda budaya, dan punya sensitivitas terhadap nilai budaya.
Ini berarti pengalaman jauh lebih penting dari ijazah jika ingin bisa bersaing dalam bursa lapangan kerja yang bergengsi.
Tidak hanya berhenti disitu, dalam pendidikan kaum tertindas" karangan Paulo Friere seorang aktivis pendidikan. Paulo Friere menerangkan konsep pendidikan bagi kaum tertindas agar merdeka dan berdaya. konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Paulo Friere adalah dialogika. dialogika merupakan konsep pendidikan yang menekankan metode dialog.
metode dialog yang dimaksud adalah adanya hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan. hubungan timbal balik menyertakan posisi peserta didik dalam proses pendidikan. peserta didik bukanlah obyek pendidikan, namun harus dipandang sebagai subyek pendidikan. sebagai subyek pendidikan, peserta didik mempunyai potensi, kodrat, dan kemauan yang harus diperhatikan. pendidikan hanya sebatas membantu "lahirnya" potensi peserta didik.
Di sisi lain ada hal yang menarik dari Riwayat kehidupan Ki Hajar dewantara beliau memberikan kita dua hal bahwa dunia pergerakan dan penulisan harus dikenali oleh seorang yang bergelut dalam fakultas pendidikan, atau mereka yang akan menjadi guru. keduanya sangat penting karena mengasah rasa kemanusiaan. Kita tentu sepakat bahwa menjadi guru merupakan panggilan kemanusiaan bukan hanya sekadar panggilan profesi dan gaji meskipun kesejahteraan guru harus tetap diperhatikan. Jika Prof. Muhajir Efendi ingin pendidikan ini maju,Alangkah baiknya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar menghimbau para calon pendidik untuk berorganisasi dan menggiatkan budaya literasi bukan sekadar keunggulan Indeks Prestasi. Sudah saatnya bangsa ini membutuhkan guru yang mampu menghasilkan empati, kepedulian dan tanggung jawab sosial. Sehingga mampu membangkitkan kesadaran dan progrsifitas peserta didik untuk pemberdayaan dalam segala hal.
0 comments