Sebagai santri yang ada di seberang pulau daratan antara gresik dan madura. Aku merantau tak jauh dari pulau itu, pulau Bawean kabupaten Gresik. Perjalanan rantau ini pun dirasakan oleh teman ku sebrang lautan perak Surabaya. Dia berasal dari pulau Kalimantan, dengan sebutan Borneo ciri khasnya. Mempunyai kesamaan status santri rantau sama sepertiku. yang sekarang menjalani proses akhir study di pesantren. Dan dia baru pindah kamar ke kamarku di lantai paling atas pojok kanan asrama Mahasiswa.
Setelah ia usai menjadi Rois ketua Asrama di asrama santri Tsanawiyah. Mulai kesehariannya bersamaku, ngaji, ngopi dan sering ia membuat kata bijak, tatkala musibah atas mengejar sarjananya terhambat sulit untuk mencapainya. Namun ia selalu banyak kata dan harapan ketika hari malam tiba, dan mengajak ku melihat bintang-bintang dan syahdu ditemani kopi dan rokok. Berkat bersamanya, aku ingin terus tertawa dan membuka gigi terus. Meski terkadang itu kasar atau tak menyehatkan akal. Sangatlah wajara bagiku untuk mudah tertawa dan menghilangkan keseriusan yang membabi buta. Heheheheh
Sekalipun pada akhir moment menjadi mahasiswa akhir yang tak kunjung selesai tanggungan atas syarat wisuda yang sudah mendekati hari H. Ia terus menyemangatiku dan memgingatku tentang tanggungan itu. Ia tanggungan baca kitab, kalau aku hafalan surat al Kahfi.
"Ayo setoran iz, kita hanya punya waktu 3 hari 2 malam" teriaknya padaku, disela aku duduk manis dikamar.
"Iya kin, bintang pun semakin terang, tanda ada harapan bersinar pada kita" balasku langsung padanya.
Ia membuat strategi baru untuk lulus baca kitab dengan membawa kumpulan kitab nahwu shorof setiap ngopi. Targetnya paham dan menguasai i'rob dan seluk beluk kalimat di kitab kuning. Sedangkan aku cukup pergi ke maqbarah perintis pondok pesantren yang ada di belakang kampus. Disertai target hafalan sehari satu wajah di Al-Qur'an.
"Iz kamu gimana hafalan surat al kahfinya?" Tanya makin kepadaku.
"Aku beralih pada surat dukhon kin, waktu pendek cocok buat surat ini. Lanjut aku pada nya.
3 hari itu pun jatuh pada hari senin, sehari sebelum yudisium dimulai. Makin dan aku pada malammya memburu target yang direncanakan. Karena hari senin sudah tuntas dan lulus menuju panggung wisuda. Dengan bergerilya dari warung ke warung kami menghabiskan waktu untuk target itu. Makin hafalan rumus, aku mendengarkan tartilan surat dukhon ditambahi mata melihat dan mulut membaca surat itu sampai hafal. Dan bisa disetorkan ke rumah ustadz yang diberi tugas dalam masalah ini.
"Iz malam ini bintang semakin banyak dan beriringan saling jatuh cinta berdampingan" ia berujar padaku sebwlum berangkat ke rumah ustadz pondok, yang rumahnya ada didalam pondok.
"Ini adalah bertanda kebersamaan dalam satu perjuangan bersama kawan-kawan akan segera terasa kepada kita untuk merayakannya" jawabku padanya
Akhirnya malam itu malam penentuan bagi ku dan ia. Dan keajaiban pada bintang itu terasa nyata tatkala makin dinyatakan lulus pada malam itu. Dan aku besoknya dengan setoran hafalan yamg kurang pun tercapai membuka pintu gerbang wisuda. Teriak histeris pada malam itu dirayakan pada makin dan temannya cak man, fathur, dan shobah. Begitu ceria ia malam itu didepan ku, sehingga aura positif bagiku menjemput pagi itu semakin membara. Dan aku pun merayakannya. Dengan langsung mendaftarkan diri untuk wisuda. Dan kami pun esoknya berpose bersama di tengah lautan manusia berpesta yudisium perayaan sarjananya.
Karena memang kesarjanaan pada wisuda adalah suatu kemewahan bagi kita bersama teman-teman seperjuangan, dan senasib. Dan sangat ditunggu oleh kedua orang tua yang mengadu nasib untuk anakanya di desa. Cuma nasibku dan makin hanya ada 6/7 anak. Tidak sampai berpuluh-puluhan sampai beratus-ratus jiwa manusia. Disamping juga aku dan ia sangat jauh dari rumah. Tidak seperti teman biasanya hanya berakses daratan yang mudah dijangkau dan pulang.
"Santri rantau harus pantang terjang meski badai datang" status makin di whats up nya yang membangunkan aku dari lamunan perempuan yang datang dan pergi tak tepat waktu untuk melihat bintang-bintang lagi.
0 comments