Sunyi sekelilingku, lalu sekonyong-konyong hidung dan kakiku tak berdaya. Hidungku ditekan, kakiku dipegang erat - tak mampu bergerak lagi. "Arggggh", kudengar jeritan dari arah yang tak jelas, dan perlahan suara itu lenyap ditelan malam sejuk kota B.
Di kota B untuk kedua kalinya aku mengunjungi seseorang. "Aku tak suka lelaki apa adanya, namun ada apanya", ia memulai percakapan memecah kedinginan es jeruk yg sedang kuminum sedikit-demi-sedikit.
Malam itu ia tampak begitu cantik: sinar rembulan benar tak berdaya oleh indah senyum di bibirnya. Ia memakai kerudung merk Zoya, celana jeans bermerk Zalora, kaos gambar The Beatles, jaket denim berwarna biru original yang tak mungkin terbeli oleh isi dompet tipisku."Kau tau sendiri keadaanku kini, hidup segan mati tak mau, aku belum punya pekerjaan", jawabku. Aku hanya memakai pakaian seadanya: kaos oblong, jeans tak bermerk, dan sandal swallow!
"Keluargaku cukup berpunya, sepupuku karyawan bank swasta, yang lainya menjadi pns". Begitu saja ia bercerita tentang keluarganya, tak menggubris jawabanku. "Hari ini pengangguran menumpuk, untuk sekedar jadi buruh pabrik saja, kau harus menyogok seseorang yang memiliki kedekatan dengan pihak perusahaan", kucoba memberi pemahaman utuh.
Aku mengenalnya di suatu acara organ mahasiswa di kota G, dia berbeda dari perempuan yang pernah hadir di hatiku: tertarik pada gerakan mahasiswa, dan sedikit-banyak memilki perspektif progresif, semisal ketidaksetujuannya dengan perjodohan sebagai budaya patriarki.
Ia lalu bercerita kegiatannya di organ mahasiswa, kedekatannya dengan beberapa senior. "Bangunan senioritas dalam organ kita mempersempit ruang demokrasi, sehingga pendapat yang berbeda menguap begitu saja". Kupasang mimik-wajah serius, sesuatu yang sebenarnya sulit kulakukan. Sungguh! "Lihat pula senior kita yang masuk pemerintahan hanya menjadi cecunguk rezim bangsat!". Tanganku bergerak kesana-kemari mengesankan keseriusan.
"Aku tak paham apa yang kau bicarakan, pengabdian kader kepada organ adalah hal mutlak, kau tentu lebih tahu hal itu", sanggahnya dengan tatapan sinis. "Kau terlalu terpengaruh pada ajaran Komunis yang anti tuhan!". Kujawab sekenanya saja, dan berguman, "anti tuhan, dan antimo!".
Kota B dahulunya basis PKI, yang saat itu mayoritas dari kaum tani. Kaum tani yang tak mempunyai alat produksi langsung berhadapan dengan musuhnya, kelas feodal. Namun kini hanya delusi dan masturbasi pikiran saja jika beberapa orang masih berharap lebih pada kaum tani yang memiliki egosentris, dan menumpuk sawah.
"Kita turun ke bawah, di sini begitu dingin, aku tak sanggup terlalu lama di sini", ujarnya memecah hening. "Kita bisa ngopi, dan menghampiri kawanmu, ngopi bersama saja", sambungnya. Aku hanya memberi isyarat anggukan. Ke bawah yang ia maksud, daerah kawasan kota M.
Di sepanjang jalan begitu sepi, kutengok kiri-kanan jalan. Kau tahu, jalanan di kota B berkelok-kelok dan di sisinya jurang curam nan dalam. Ketika tikungan tajam kesekian, aku melihat kawanku mengendarai motor begitu kencang dari arah berlawanan menabrak motorku. Gelap gulita jalanan, dan aku arahkan kemudi ke arah kanan untuk menghindarinya.
Jurang yang menganga membuatku terperosok dalam, sekujur tubuhku berdarah, dan dia tergeletak tak sadarkan diri, dipenuhi luka terutama di bagian kepala yang mengalir darah bercucuran. Kusobek kaosku untuk menutupi darah di kepalanya -- yang sepertinya terkena beda tumpul. Jurang ini dalam sekali, aku menjerit seraya menahan sakit. Terus menjerit ketakutan. Gelap semakin menjadi-jadi, aku berlari ketakutan meninggalkan dia. Berlari sekencang-kencangnya tanpa arah, hingga beberapa kali menabrak pohon menjulang. Aku terdiam, terduduk bersandar di tubuh pohon. Aku terasa sepi, masuk ke dalam, terasa sunyi berjalan tanpa arah, tanpa tujuan, kegetiran yang pernah menimpaku begitu larut dengan ketakutan. Aku berjalan pelahan, "apakah ini sebenarnya kehidupan?", tanyaku.
"Arggghh", lalu tiba-tiba suara itu terdengar lagi -kali ini lebih keras. Tanganku serasa dipukul palu godam, diikat rantai, lubang hidungku disumbat lebih keras kali ini dan semuanya terasa redup.
Tiba-tiba sundal itu berteriak keras tepat di telingaku, "Tangiyo cuk, kon iku ketindihen!"