Monday, November 12, 2018

Malam Getir Membisu



Sunyi sekelilingku, lalu sekonyong-konyong hidung dan kakiku tak berdaya. Hidungku ditekan, kakiku dipegang erat - tak mampu bergerak lagi. "Arggggh", kudengar jeritan dari arah yang tak jelas, dan perlahan suara itu lenyap ditelan malam sejuk kota B.

Di kota B untuk kedua kalinya aku mengunjungi seseorang. "Aku tak suka lelaki apa adanya, namun ada apanya", ia memulai percakapan memecah kedinginan es jeruk yg sedang kuminum sedikit-demi-sedikit. 

Malam itu ia tampak begitu cantik: sinar rembulan benar tak berdaya oleh indah senyum di bibirnya. Ia memakai kerudung merk Zoya, celana jeans bermerk Zalora, kaos gambar The Beatles, jaket denim berwarna biru original yang tak mungkin terbeli oleh isi dompet tipisku."Kau tau sendiri keadaanku kini, hidup segan mati tak mau, aku belum punya pekerjaan", jawabku. Aku hanya memakai pakaian seadanya: kaos oblong, jeans tak bermerk, dan sandal swallow!

"Keluargaku cukup berpunya, sepupuku karyawan bank swasta, yang lainya menjadi pns". Begitu saja ia bercerita tentang keluarganya, tak menggubris jawabanku. "Hari ini pengangguran menumpuk, untuk sekedar jadi buruh pabrik saja, kau harus menyogok seseorang yang memiliki kedekatan dengan pihak perusahaan", kucoba memberi pemahaman utuh.

Aku mengenalnya di suatu acara organ mahasiswa di kota G, dia berbeda dari perempuan yang pernah hadir di hatiku: tertarik pada gerakan mahasiswa, dan sedikit-banyak memilki perspektif progresif, semisal ketidaksetujuannya dengan perjodohan sebagai budaya patriarki. 

Ia lalu bercerita kegiatannya di organ mahasiswa, kedekatannya dengan beberapa senior. "Bangunan senioritas dalam organ kita mempersempit ruang demokrasi, sehingga pendapat yang berbeda menguap begitu saja". Kupasang mimik-wajah serius, sesuatu yang sebenarnya sulit kulakukan. Sungguh! "Lihat pula senior kita yang masuk pemerintahan hanya menjadi cecunguk rezim bangsat!". Tanganku bergerak kesana-kemari mengesankan keseriusan.

"Aku tak paham apa yang kau bicarakan, pengabdian kader kepada organ adalah hal mutlak, kau tentu lebih tahu hal itu", sanggahnya dengan tatapan sinis. "Kau terlalu terpengaruh pada ajaran Komunis yang anti tuhan!". Kujawab sekenanya saja, dan berguman, "anti tuhan, dan antimo!".

Kota B dahulunya basis PKI, yang saat itu mayoritas dari kaum tani. Kaum tani yang tak mempunyai alat produksi langsung berhadapan dengan musuhnya, kelas feodal. Namun kini hanya delusi dan masturbasi pikiran saja jika beberapa orang masih berharap lebih pada kaum tani yang memiliki egosentris, dan menumpuk sawah.

"Kita turun ke bawah, di sini begitu dingin, aku tak sanggup terlalu lama di sini", ujarnya memecah hening. "Kita bisa ngopi, dan menghampiri kawanmu, ngopi bersama saja", sambungnya. Aku hanya memberi isyarat anggukan. Ke bawah yang ia maksud, daerah kawasan kota M.

Di sepanjang jalan begitu sepi, kutengok kiri-kanan jalan. Kau tahu, jalanan di kota B berkelok-kelok dan di sisinya jurang curam nan dalam. Ketika tikungan tajam kesekian, aku melihat kawanku mengendarai motor begitu kencang dari arah berlawanan menabrak motorku. Gelap gulita jalanan, dan aku arahkan kemudi ke arah kanan untuk menghindarinya. 

Jurang yang menganga membuatku terperosok dalam, sekujur tubuhku berdarah, dan dia tergeletak tak sadarkan diri, dipenuhi luka terutama di bagian kepala yang mengalir darah bercucuran. Kusobek kaosku untuk menutupi darah di kepalanya -- yang sepertinya terkena beda tumpul. Jurang ini dalam sekali, aku menjerit seraya menahan sakit. Terus menjerit ketakutan. Gelap semakin menjadi-jadi, aku berlari ketakutan meninggalkan dia. Berlari sekencang-kencangnya tanpa arah, hingga beberapa kali menabrak pohon menjulang. Aku terdiam, terduduk bersandar di tubuh pohon. Aku terasa sepi, masuk ke dalam, terasa sunyi berjalan tanpa arah, tanpa tujuan, kegetiran yang pernah menimpaku begitu larut dengan ketakutan. Aku berjalan pelahan, "apakah ini sebenarnya kehidupan?", tanyaku.

"Arggghh", lalu tiba-tiba suara itu terdengar lagi -kali ini lebih keras. Tanganku serasa dipukul palu godam, diikat rantai, lubang hidungku disumbat lebih keras kali ini dan semuanya terasa redup. 

Tiba-tiba sundal itu berteriak keras tepat di telingaku, "Tangiyo cuk, kon iku ketindihen!"
Read more

Friday, October 19, 2018

Cinta Fiksi Dalam Sekantung Ikan Asin


Pemuda yang redup diantara pemudi itu dikenal, tapi dia terkenal diantara intelegent dan parlementer dengan nama mas geng dia terlihat semangat menjemput pagi. Tidak seperti teman-teman yang sedang tidur pulas. Mas geng sedang meyiapkan sarapan pagi sambil memandang ikan kering yang tergantung di kamarnya. 

Menanak nasi dimulainya, menghidupkan gas dan membersihkan magic com yang telah kusut tak bisa di buat menanak nasi dengan listrik yang terpaksa dengan menanaknya dengan gas elpiji ditutupi penutup wajan. Heheheh

"Engkok masak iwak iki iz, ditambahi sambel goreng" dengan khas jawa yang kian luntur dalam dirinya.
"Oke cak, aku turu sik, lek wis mateng lan siap tangeni" celutuh ku pada mas geng
"Yowis turuo ae aku seneng wesan isok tangi lan bahagiakno konco isok mangan"

Salah satu pencapaian dalam hidup adalah membahagiakan teman bisa makan bersama. Itu telah dicontohkan oleh mas geng pagi itu. Dan entah kenapa dia menebar senyum pagi tidak seperti hari-hari sebelumnya. 

"Ayo iz wis mateng ,ayo eksekusi lan jok lali dungo sik" terliham anggun membangunkan berlogat ustadz bernuansa religi.
"Oke cak, wis enak ambune sampek kne" padahal ambune yo sangit lan berbau gosong. Hahahha
"Tumben isok tangi isuk cak, lan semangate menggebu koyok apene aksi nak pemkab? " Tanyaku pada mas geng
"Iya dong aku kan habiz diberi hadiah oleh seorang yang aku cintai diam-diam"
"Walah rek, sekarang kau mulai populer dikalangan pemudi mas geng, selamat ya"

Sekian lama aku mengenal mas geng begitu redup hidupnya dalam persoalan cinta. Tapi hari itu dia memberikan bukti real dan fakta bagiku. Bukan terus ilusi seperti lagu hijau daun ilusi tak bertepi heheheh...

"Kamu tau iz, meski ini tidaklah barang mewah dan mahal harganya, aku sangat bangga atas pemberiannya." 

Ini adalah perjuangan dari mas geng dibalik kesuyiannya bersama perempuan yang ia cintai. Meski terkadang sorotan temannya yang meremehkan dia, karena dalam keseharian medsosnya hanya diwarnai para pejaka dan pemuda yang ngajak ngopi atau diskusi. 

Begitupun pada ngopi dia sangat jarang menceritakan wanita pujaannya. Bermalam pada ngopi pun itu hanya sekedar bahan kejenuhan dalam warung kopi. Jika telah menceritaka sosok perempuan yang menarik. 

"Jadi iz jangan meminta lebih pada cinta kita, semampunya menikmatinya, karena jika tidak kau akan terjebak pada hal absurd pada cinta"
"Wah, ngopi ku harus bermalam suntuk bersama mu mas" balasku.
"Iya gampang, ngopi nanti akan kau temukan bahwa cinta itu adalah anugerah yang dinyanyikan pada diri ini."
"Siap mas geng, makasih banyak ya cintamu sungguh menghidupi aku"

Dengan hubungan cinta mas geng setidaknya bisa mencerminkan pada kehidupan untuk bisa dimuat dalam pikiran bahwa cinta itu usaha untuk terus menghilangkan kemanjaan pada wanita. 

Dan pelan-pelan mas geng hidup menghidupi dalam kalangan pemudi atas cinta yang sederhananya.
Read more

Monday, October 15, 2018

Pekerjaan Move On Yang Melelahkan


Di rumah kos teman dekat kampus ternama malang itu aku berinap diri dua hari satu malam. Suasana malang sebagai pusat pelajar, dapat aku lihat jejeran kampus berdampingan dan perkumpulan mahasiswa pulang pergi dari kos, warung kopi, dan base camp organisasi.

Aku baru saja datang pada kota yang identik metropolitan ini untuk mengantarkan temanku berkunjung kepada saudaranya, sekaligus aku juga punya saudara kuliah di Uin. Mulai kampus yang paling besar sampai kampus yang ternama diceritakan oleh teman alumni pondok yang saat ini bergelut sama denganku PMII. meskipun dia temenku kuliahnya di swasta tak membuat dia minder bersama teman-teman sebayanya yang kuliah negeri. 

Pada saat itupun aku kenal pada perempuan yang sengaja kenalan di Gresik ketika sama-sama menjalani pelatihan organisasi PMII. Dia kuliahnya di Uin malang, aktivis perempuan yang selalu aktif dalam gerakan pada organisasi dan pengkaderan pada anggotanya. Aku mungkin baru mengenal sosok perempuan yang selalu enjoy dan terbuka padaku. Dan ceritanya selalu terbawa pada cekikik dan gombalis.Karena memang dia cantik dan anggun. Hahahha

"Malam minggu kemana fir, aku di Malang"
"Oke , sek iz, aku ada acara organisasi, pastikan kita ngopi ya"

Dia menguatkan kalimat "ngopi" untuk bisa bertemu dan kumpul bareng. Kan meski tak bisa bersama terus, kopi kita pernah berjejer bersama. Itu kata-kata habibi yang selalu memotivasi aku. Dan memang dia sangat lihai dan piawan pada wanita. Barisan mantan sudah seperti bentangan sawah yang dimilikinya. 

Aku tetap saja di kos menunggu ada kendaraan untuk keluar ngopi. Malam bertemu malam yang aku rasakan di malang itu. Siang di kamar, sampai lupa bahwa matahari telah terbenam dari ufuk barat diganti bulan kesinaran. Kesinaran pada raut wajah dia yang aku bayangkan sambil menunggu apakah ia benar bisa datang ngopi bersama.

Aku pun berangkat saja dulu bersama rival teman ku, sambil memberikan lokasi ngopi kepada firriyah temanku perempuan aktivis itu. 

Akhirnya Dia pun datang dengan motor kesayangannya yang dibawa kemana-mana. Dan gabung ngopi bersama teman-teman.

"Ngopi disini sangat asyik dan menyejukkan ya"
"Iya la iz kan kota malang dingin, ya mau tak mau sejuk itu hadir dalam diri ini"
"Adem dan menyenangkan ya fir, kayak memandangimu hari ini"
"Hahaha......iya lha aku kan cantik"
"Memang dan cantikmu alami"
Percakapan itu berhenti kala sama-sama menghirup minuman yang sudah disediakan di warung kopi.
"Kamu tau iz, aku sekarang lagi susah move on"
"Hebat lho, cintamu kekal, tapu belum ikhlas menerima kenyataan" imbuhku padanya.
"Ya aku baru saja punya hubungan, tapi kandas di tengah jalan, sedihnya aku belum bisa mencari seorang sama seperti dia"
"Heheheh.... prestasi cinta mu sudah mulai tumbuh hampir pada tahapan saling mecintai dan dicintai."

Sebuah perjalanan percintaan tak akan pernah habis dari warung ke warung, kota ke kota sampai pelosok desa. Dia sangat banyak mempunyai teman termasuk aku. Perjalanannya ditempuinya dengan sepeda motor pribadinya kemana-mana. Membangun jaringan, saling kenal dan saling tukar pikiran kala bertemu. 

Tentunya ngopi selalu ada setiap perjalanan itu. Menghilangkan penat pikiran serta tanggung jawab pada organisasi. Tanpa mengurangi rasa kecintaan pada ngopi bersama. kiranya bisa membuat move on bertambah pada kualitas diri, bukan untuk mempromosikan diri untuk dicintai, melainkan menyembuhkan luka hati yang terus berilusi. 

Memang benar kata temanku sofyan, pura-pura bahagia itu membutuhkan energi extra. Yang terus melangkah dari hari sampai berlelah pada ingatan si doi. Itu sangat memuakkan. 

Sepertinya dunia belum bisa mempertemukan cintamu ketika hanya sibuk sana sini tanpa suatu misi. Akan banyak orang yang mengantri cintamu karena kemapanan misimu. Dan terkadang hidup tak selalu masalah cinta, pakaian kotor belum dicuci, uang saku tak kelar bayar hutang, lapar yang terus ada tanpa meminta, sedangkan teman terus ada dan berasa.
Read more

Sunday, September 30, 2018

Bersama Bayangan Pertemuan


Dandanan mu masih asri serasa pas wisuda dik, 

Itulah pertemuan ku bersama wanita yang sedang akan berangkat ngabdi di luar kota. Dia bersama ku duduk berhadapan di warung kopi yang terbaru daerah Gresik. Dengan budaya khas ngopi daerah ini selalu ada yang baru dari jejeran warung ke warung sampai cafe pun sudah mulai lengkap dengan musik dihiasi panorama warna-warni lampu. 

Aku pun memesan kopi pada pelayanan baru itu, "aku kopi susu ya mas, kamu mau mesan apa dik?" Pesan tertulis oleh kasir. "Aku sama sepertimu pokoknya sama" balas dia yang senyum manis di depanku. Padahal aku sebelumnya telah menuntut untuk berbeda. Pokoknya jangan pesan kopi yang memang aku rasa tak pas bagi dia. kopi yang belum pernah aku mengunjungi warkopnya. Aku tetap saja bahwa kopi belum cocok bagi perempuan yang baru sekali aku ajak ke warung kopi.

"Makasih ya dik, telah mengisi waktu luangmu untuk ku" 

Waktu itu aku sangat banyak ucapan berbagai kisah pada pengabdianku. Sebegitu antusias aku dalam bicara empat mata bersamanya, sama balas begitu aktif menggelora. Saran menggebu olehnya untukku yang memang saat itu moment bagiku untuk berlayar memantapkan agenda selanjutnya. 

"Jadi kamu sudah bebas beban atas orang tuamu di sana dik" 
"Iya aku sekarang sudah bisa hidup dan menghidupi ku atas pengabdian yang diberikan"

Aku mendengarnya begitu bangga olehnya, naluri ku langsung saja menggumam betapa hebatnya wanita ini sudah bebas atas tanggungan dari orang tua. Tidak dengan ku yang masih saja terpikir oleh seorang adik yang yang selalu terpukul beban pikiran dipondok, tak kunjung betah lamanya ia mondok menjadi aku mati suri  surut langkah ku. 

Kebahagiaan ngopi bersama tak begitu aku merasakannya, ketika ada telpon dari kawan pondok yang dipinjam hpnya oleh adikku. Terus saja ingin aku kembali dan ingin disampingnya.

"Ya kamu sebagai kakak, harus nurutin kemaunnya, ada waktu untuknya, dan terus sabar sambil pelan-pelan bilang pada adikmu mondok itu enak" ia menasehatiku begitu asyik dan menawan akan senyum serius memandangku. 

"Iya dik, makasih ya insyallah aku jalani bertahap ini" 

Dan tentunya ini adalah tugasku untuk dewasa padahal secara alam bebas aku tak ingin dewasa. Heheheh... percakapan bersamanya tak begitu lama. Tidak sama bersama teman-teman ku biasanya sampai Subuh, dan paginya meneruskan mimpi diatas bantal dan sajadah. Hahahah....aku sama ridho atasnya, layaknya orang tua ridho  bersamaan anaknya. 

Tak sampai larut malam aku bersama dia. Karena memang dia akan berangkat ngabdi ke luar kota. Begitulah pertemuan eksistensi dirinya untukku. Mengaduh berhati-hatian, mendekap sayu oleh bayangan itu. 
Read more

Wednesday, September 26, 2018

Santri Aku Padamu


Pada wajah teduh sang kyai
Tanpa pamrih pun ia beri pada santri
Meneguk lautan ilmu menghampiri
Menepis lara buta akal nurani
Tertuntun pada jalan sunyi tholabul ilmi
Tanpa ambisi berlebih

Santri aku padamu..

Tancapan kening malam yang dibangunkan
Tinjakan nafsu berlipat menembus setetes air wudhu dibiaskan
Terpaan kenyataan begitu berwarna kerahmatan disaksikan

Santri aku padamu

Melampau terjang mendalam kitab kuning menghiasi
Berangkat serentak jalan mushollah berjubah putih
Berhempaskan kata "jamaah" di ilhami 
Lantunan ayat-ayat, syair-syair di dengungkan lestari 
Sungguh tiada nikmat dan  syukur selain menjadi santri
Read more