Nama
santri sudah menjadi familiar di tengah masyarakat komplek. Karena pesantren
pada umumnya telah memenuhi kriteria dalam mengamalkan panji-paji Islam serta
mampu mengembangkan efektivitasnya dalam masyarakat sebagai pengabdi atau
pelayan masyarakat. Dari beberapa aspek
kehidupan masyarakat dari kesantriannya
di pesantren mulai beberapa kegiatan yang santri lakukan sebagai identitasnya.
Pesantren terlibat dalm proses penciptaan tata
nilai yang memiliki dua unsur utama: yaitu peniruan dan pengekangan. Unsur
pertama, yaitu peniruan, adalah usaha yang dilaksanakan terus-menerus secara
sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Saw dan para ulama
salaf ke dalam praktek kehidupan di pesantren. Tercermin dalam hal berikut;
ketaatan beribadah ritual secara maksimal, penerimaan atas kondisi materil yang
relatif serba kurang, kesadaran kelompok yang tinggi.
Unsur
kedua, pengekangan, memiliki perwujudan utama dalam disiplin sosial yang
ketat di pesantren. Kesetiaan tunggal kepada pesantren adalah dasar pokok
disipllin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkangnya
merupakan konsekwensi mekanisme pengekangan yang dipergunakan.
Disamping topongan moril dari seorang kyai bagi
kehidupan pribadinya. Kriteria yang biasanya digunakan untuk mengukur kesetiaan
seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanakan pola
kehidupan yang tertera dalam literature fiqh dan tasawuf. Salah satu bentuk
penerapan kreteria ini adalah sebuah sebutan “ahli maksiat” bagi semua santri yang
melanggar dan dikucilakan.
Dengan begitu santri tak akan bisa
lepas dengan sosok yang dikultuskan oleh seorang pengasuh (Kiai) yang sangat
erat dengan istilah Barokah atas proses belajar dan menggali pengalaman
pesantren. Pada taraf pengalaman pun santri telah banyak mencicipi problematika
lautan massa dengan menjadi seorang pelopor atau sebagai regenerasi pemimpin.
Dan lebih dekatnya sangat dekat dengan orang lemah. Karena dengan sebuah tata
nilai kesederhanaan di pesantren yang
mampu menjadi pandangan hidup seorang santri.
Dalam beberapa aktualisasi imu
beramal sholeh selalu dengan maqolah Ulama “ Wa bil khidmati Irtafau, Wa bil
khurmati Intafau” bagaimana menjadi seorang bermanfaat bagi orang lain, tak lebih. Santri telah mencapai
kejayaannya yang mempunyai pandangan berkat pengalaman dari cakrawala luas dan
pendalaman ngaji di Pesantren.
Secara gradual penerapan ilmu yang ada
dipesantren baik itu melalui pengajaran dan perwujudan pada sang Kyai menjadi
sautu intensitas yang tak pernah padam oleh sautu zaman. Dengan beberapa
tantangannya tentunya pesantren tetap menjaga sautu keilmuan dan tradisi untuk
tetap mampu memberi ruang gerakan pada solidaritas menggali ilmu dan khazanah
pesantren. Sejalan dengan itu, maka tak heran sosok panutan adalah kebaikan
yang menyerapi dalam lautan kalbu. Dan
akan menjadi kekuatan penuh atasnya dengan apa yang telah Pram katakan “ kaum
terpelajar harus ikuti kata hati” santri
telah menjalaninya dan memberkatinya dengan eksistensinya di masyarakat. Maka Apapun
status dan profesinya santri tetap dengan Nyantri, nyanding tresno ati
0 comments